Thursday, November 13, 2008

Dibalik puisi "Wahai Manusia Bumi" dan Detik Menjelang Pembacaannya



Sangat lucu dan terharu kejadiannya. Saat itu aku diperkenalkan dengan seorang teman baru, Tommy namanya. Kecil, hitam dan nggak nyangka dibalik kesederhanaannya tersimpan talenta yang maha tinggi dalam sastra.
Singkat cerita iya mengajakku untuk ikut lomba puisi. Lalu apa yang terjadi. Responku ”Sangat positif” saat itu aku seolah menemukan duniaku yang pernah hilang tampil di depan banyak orang dengan membacakan puisi. Tak bermaksud sombong atas niat itu, tapi aku jujur ingin rasanya berekspresi lagi diatas penggung.

Aku tidak mengerti apa tema yang akan dibawakan, katanya seputar”cinta, kasih sayang dan manusia. Teringat kumpulan puisiku tersimpan di komputer rumah di Bekasi. Yang ada di laptopku, ternyata hanya puisi rintih rindu dari seorang istri kepada suaminya. ”Aduh, rasanya tak tepat kubawakan topik ini”

Malam semakin larut, lomba puisi tinggal satu hari lagi. Aku tahu para peserta adalah mewakili antar kolej yang ada di Universiti Utara Malaysia. ”Ah, pasrah niatku” yang penting aku mau mencoba, menang atau kalah bukanlah prioritas. Kubuka segera laptopku, kutuangkan ide baruku lewat patahan kata puisi. Entah dari mana ide itu muncul, alam pikiranku saat itu penuh dengan dengan kekecewaan atas seorang sikap manusia di muka bumi ini. Dan terlahirlah puisi baruku dengan judul ”Wahai Manusia Bumi”

Segera kutelp partnerku Tommy untuk mempersiapkan diri atas puisi yang baru untuk dibacakan nanti malam. Aku tiba di depan restaurant Ka Mona, tempat pertama pemberhentian bis UNIC (Bis Mahasiswa di UUM). Segera kuberikan puisi yang telah kuprint sebelumnya. Tommy tak berkomentar banyak atas hasil karyaku. Aku sadar hasil karyaku mungkin jauh dari sentuhan seni, dibanding untaian katanya-katanya yang indah bahkan sempat menjadi puisi prolog untuk sebuah film yang membludak laku dipasaran Ayat-ayat Cinta. Pergaulannya dengan orang-orang seni seperti W.S Rendra, Sutardji Choljum Bahri, membuatku tidak ragu bahwa dia memang orang yang mengerti tentang seni dan puisi.

Indah, roomateku dari Padang tiba-tiba dengan semangat 45 mendukungku dari mulai latihan dadakan di depan lapang bola dan gladi resik di gedung latihan siswa Kolej DPP Bank Rakyat. Aku dan Tommy melatih vokal dan ekspresi di depan kaca yang lebar. Seorang teman dari Malaysia sibuk mendokumentasikan latihan kami. ”O my God, semua serba dadakan”,ucap dalam hatiku. Untung ada Gilang kakak kelasku di Sahid yang bersedia memetik gitar untuk menambah menarik performa kami.Saat itu Gilang baru saja tiba dari Jakarta untuk menghadiri convocation (wisuda).

Saat Lomba Tiba....

Detik lomba sebentar lagi, aku masih sibuk wara wiri memakai kebaya hijau kesukaanku (Memang Cuma itu yang di bawa ke Malaysia ko, he he). Mba Dewi rekan seperjuangan dari Sahid, sibuk menata rambutku. Ati dan Alma pun tiba-tiba jadi asisten mba Dewi menyiapakan jepitan rambut karena mengurus rambutku yang tipis dan susah diatur. Saat panik bertempur dengan waktu lomba, seorang teman bernama Fiza, mahaiswi S1 yang kebetulan berada di kamar sebelahku, meminta fotoku dengan pakaian kebaya itu. Indah pun membawakan tas gemblok favoritku ”Eager” ke tempat lomba. Tak lupa aku pun minta doa dan restu dari Suamiku tercinta di Ciamis, bahwa aku mau lomba malam ini.

Nomor 14 adalah giliranku. Aku, Tommy dan Gilang mempersiapkan diri di belakang panggung. Doa yang disarankan dari suamiku, terus kubaca hingga menjelang lomba. ”Ya Allah tenangkan hatiku” . Kini saatnya nomer 14 tampil.

Skenario panggung telah aku susun dengan baik. Gilang telah mengerti konsep yang kuberikan. Kami adalah satu-satunya peserta yang tampil beda (Ih....sombong). Tapi memang benar peserta yang lain tampil secara solo, sementara kami tampil bertiga, Gilang sang pemetik Gitar, Tommy yang maju duluan dan setelah itu tibalah aku ke tengah-tengah panggung. Pembagian baca puisi telah diatur dengan jelas siapa yang membaca duluan lalu giliranku, dan kata-kata mana yang harus dibaca secara bersamaan.

Seru rasanya.....

Kulihat teman-temanku tampak duduk berderet menyaksikan performa kami bertiga. Aku hanya berekspresi atas apa yang kumampu. Tommy kelihatan lebih ekspresif dibandingkan waktu latihan dua kali di depan lapang bola dan gedung DPP Bank Rakyat. Tommy semakin berpower, dan aku senang artinya masukanku tak sia-sia.

Pengumuman lomba pun tiba.....

Dewan juri meninggalkan meja kehormatan, artinya siapa pemenangnya untuk lomba ini akan segera diketahui. Aku pun jujur berharap-harap cemas akan hasilnya nanti, walau di awal aku sudah cerita menang kalah bukanlah prioritas. Pengumuman pemenang dimulai dari juara ketiga, aku lupa nama istilah bahasa Malaysia untuk mengumunmkan kejuaraan, yang terakhir didengar adalah ”JOHAN, daripada puisi ”Wahai Manusia Bumi” dibacakan oleh Titing Kartika dan Tommy” Penonton bersorak terutama teman-temanku pendukung dari Indonesia. Semua tampak riang dan kami bertiga segera menaiki panggung untuk menerima piala dan parcel makanan. Temanku bertanya. ”uangnya berapa Tik?” Ah malu rasanya karena hadiahnya hanya piala dan parsel makanan besar yang bisa dimakan rame-rame.

Parsel makanan pun dibuka di kantin bukit Kachi, Gilang dengan talenta bermain gitar melanjutkan petikannya dengan diiringi lagu-lagu jaman baheula. Seprti biasa lagu favoritku juga dinyanyikan bersama ”Kemesraan” dengan lirik yang sedikit berubah agar lebih kontekstual dengan alam bukit Kachi nan dingin menjelang malam.

Inilah liriknya:

Suatu hari, dikala kita duduk di bukit Kachi...
Dan memandang pepohonan yang rindang di bukit kachi...
(Dan seterusnya.....)

Semoga kemesraan itu selalu ada, tak pernah hilang dari genggaman tangan dimanapun aku menginjakkan kaki bersama teman-teman.

1 comment:

Berlian Aditya Al-Mizan said...

akan banyak hal yang nggak pernah kita duga sepanjang hidup tapi hidup layak untuk dijalani dengan semangat dan kemauan mencoba. Tika... aku bukan mempunyai karakter dan jiwa seni tapi hanya memiliki titipan yang peka dengan bunyi dan gerak. aku akan slalu ingat akan waktu ini. thank's to you