Tuesday, October 9, 2012


WAJAH PETANI HARI INI

Oleh: Titing Kartika, S.Pd, MM, MBA
(Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid Jakarta (2010)/Pemerhati Sosial Budaya/Bergiat dalam program Women Empowerment (Pemberdayaan Perempuan) Kota Bekasi, 2007)/Berasal dari keluarga petani

Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tanggal 24 September tahun 1960 adalah titik tolak bangkitnya kaum tani di Indonesia sekaligus ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional (HTN) pada tanggal tersebut. Itu artinya, pada tahun ini (2012) HTN sudah menginjak usia 52 tahun. Sebuah angka yang seharusnya dapat dimaknai dengan kata kestabilan, kesejahteraan, dan suka cita. Namun pertanyaannya apakah makna itu sudah bisa dirasakan oleh kaum tani di Indonesia, dan apakah senyum sejahtera itu sudah tampak pada wajah-wajah mereka?
            Pak Entoh (53 tahun) seorang petani padi di Dusun Kaliaren Desa Banjarangsana Kecamatan Panumbangan Kabupaten Ciamis Jawa Barat mengeluhkan hasil panennya yang bisa terbilang gagal dikarenakan kemarau panjang yang menyebabkan lahan sawahnya kekeringan. Jika dihitung-hitung hasil panen dengan biaya pemeliharaan sawahnya jauh dari kata untung malah buntung. Dia pun mennceritakan bagaimana harga pupuk yang mahal walau katanya sudah mendapatkan subsidi dari pemerintah. Belum lagi dengan bayar upah bajak sawah. Walaupun saat ini sudah ada konversi dari tenaga kerbau ke tenaga mesin traktor tetap saja tidak berarti menurunkan biaya operasional rawat sawah secara signifikan. Kondisi ini dirasakan tidak hanya oleh Pak Entoh namun dirasakan oleh petani-petani lainnya di dusun ini dan mungkin oleh sebagian besar petani di Indonesia.
Dengan hasil panen yang tidak optimal, tentunya ini akan berdampak pada kehidupan ekonomi para petani. Tak jarang dari mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja harus ngutang sana-sini. Sepertinya kehidupan petani terutama di desa-desa malah identik dengan kemiskinan, padahal petani memiliki peran besar dalam pemenuhan kebutuhan pangan secara global. Peningkatan kesejahteraan petani jelas sangat penting karena akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Menurut World Development Report (WDR) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menyatakan bahwa pertumbuhan domestik bruto (PDB) yang berasal dari pertanian empat kali lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan dibandingkan pertumbuhan PDB yang berasal dari sektor lain.  
Sementara itu, berdasarkan data sensus pertanian pada tahun 2003, penduduk yang rentan miskin sebanyak 27 juta jiwa yang didominasi oleh kaum tani kecil (gurem) yang mengolah tanah garapannya di bawah 0,5 hektar. Luas kepemilikan lahan yang sempit akan berdampak pada pendapatan para petani yang rendah. Di sisi lain petani tidak memiliki sertifikat yang bisa digunakan sebagai agunan. Akhirnya, tak jarang kondisi ini membuat mereka terjebak kepada tengkulak yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Di provinsi Jawa Barat sendiri, berdasarkan data dari Statistik Ekonomi Indonesia, Badan Pusat Statistik (2009) jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 yakni 2,53 juta orang (kota) dan 2,45 juta orang (desa). Hal ini menunjukkan masih banyaknya penduduk desa miskin yang sebagian besarnya berprofesi sebagai petani.
Wajah Petani
Lalu, sudah sejauh manakah usaha pemerintah untuk mensejahterakan para petani? Semoga program-program seperti revitalisasi pertanian yang didukung kebijakan pengembangan teknologi pertanian, perluasan lahan serta perbaikan manajemen akan menjadi tindakan yang solutif untuk para petani saat ini dan mereka (petani) segera dapat merasakan hasilnya. Memang ironis sekali, Indonesia sebagai negara agraris nan subur dengan posisi terletak di sepanjang garis khatulistiwa dimana rakyatnya sebagian besar hidup turun temurun sebagai petani namun kehidupan mereka jauh dari kata sejahtera. Padahal peran mereka untuk bangsa ini tak bisa dimarjinalkan. Seperti yang diungkapkan oleh Presiden pertama RI Soekarno dalam pidatonya saat meresmikan gedung Fakultas Pertanian di IPB pada tahun 1953 bahwa masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah bagaimana memberi makan penduduk. Berkenaan dengan memberi makan penduduk maka petanilah ditempatkan pada posisi yang bertanggung jawab untuk memberi makan penduduk, di samping harus memenuhi kebutuhan untuk diri dan keluarganya. Memang benar apa yang disampaikan oleh Soekarno bukan saucap-ucapna. Lihat saja kondisi saat ini saat para petani mengalami gagal panen karena disebabkan beberapa faktor, rakyat pun langsung “menjerit” karena beras sebagai makanan pokok menjadi mahal, sayur mayur sulit didapat serta bahan pangan lainnya pun turut melonjak. Ini seperti sebuah efek domino yang akan saling mempengaruhi.
Sepertinya sangat sulit membuat wajah petani tersenyum hari ini terlebih faktor alam seperti cuaca yang kurang mendukung selama proses bertani. Namun para petani tidak boleh berputus asa apalagi menghentikan diri sebagai petani. Semangat bertani harus mereka senantiasa tanamkan dalam sanubari masing-masing. Ini akan lebih baik jika daya dukung eksternal khususnya dari pemerintah kepada para petani juga menjadi prioritas. Sebagaimana yang disarankan oleh Bank Dunia agar negara berkembang mencanangkan investasi pertanian guna mengentaskan kemiskinan. Tapi sayang hal ini tidak dapat terealisasi dengan baik dengan alasan minimnya infrastruktur pertanian yang kita miliki. Begitu juga dengan harga pupuk dan pestisida. Kebijakan yang dibuat pemerintah seharusnya berpihak kepada para petani. Namun lagi-lagi para petani dihadapkan dengan harga pupuk dan pestisida yang tinggi. Jika hama mengancam gagal panen maka sikap responsif dari dinas-dinas pertanian untuk penanggulangan hama sangat diperlukan. Jangan biarkan para petani khususnya yang ada di daerah mengendalikan hama tanpa bantuan.
Pada momen Hari Tani Nasional ini diharapkan wajah para petani dapat sedikit tersenyum di tengah himpitan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Tanpa petani, rakyat Indonesia tak bisa makan. Dengan demikian jangan remehkan kaum tani di bumi ini. Selamat Hari Tani Nasional! 

No comments: