WAJAH PETANI HARI INI
Oleh:
Titing Kartika, S.Pd, MM, MBA
(Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid Jakarta
(2010)/Pemerhati Sosial Budaya/Bergiat dalam program Women Empowerment (Pemberdayaan Perempuan) Kota Bekasi, 2007)/Berasal
dari keluarga petani
Lahirnya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tanggal 24 September tahun 1960 adalah titik
tolak bangkitnya kaum tani di Indonesia sekaligus ditetapkan sebagai Hari Tani
Nasional (HTN) pada tanggal tersebut. Itu artinya, pada tahun ini (2012) HTN
sudah menginjak usia 52 tahun. Sebuah angka yang seharusnya dapat dimaknai
dengan kata kestabilan, kesejahteraan, dan suka cita. Namun pertanyaannya
apakah makna itu sudah bisa dirasakan oleh kaum tani di Indonesia, dan apakah
senyum sejahtera itu sudah tampak pada wajah-wajah mereka?
Pak Entoh (53 tahun) seorang petani
padi di Dusun Kaliaren Desa Banjarangsana Kecamatan Panumbangan Kabupaten
Ciamis Jawa Barat mengeluhkan hasil panennya yang bisa terbilang gagal
dikarenakan kemarau panjang yang menyebabkan lahan sawahnya kekeringan. Jika
dihitung-hitung hasil panen dengan biaya pemeliharaan sawahnya jauh dari kata
untung malah buntung. Dia pun mennceritakan bagaimana harga pupuk yang mahal
walau katanya sudah mendapatkan subsidi dari pemerintah. Belum lagi dengan
bayar upah bajak sawah. Walaupun saat ini sudah ada konversi dari tenaga kerbau
ke tenaga mesin traktor tetap saja tidak berarti menurunkan biaya operasional
rawat sawah secara signifikan. Kondisi ini dirasakan tidak hanya oleh Pak Entoh
namun dirasakan oleh petani-petani lainnya di dusun ini dan mungkin oleh
sebagian besar petani di Indonesia.
Dengan
hasil panen yang tidak optimal, tentunya ini akan berdampak pada kehidupan
ekonomi para petani. Tak jarang dari mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari saja harus ngutang sana-sini. Sepertinya kehidupan petani terutama
di desa-desa malah identik dengan kemiskinan, padahal petani memiliki peran
besar dalam pemenuhan kebutuhan pangan secara global. Peningkatan kesejahteraan
petani jelas sangat penting karena akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan
ekonomi daerah dan nasional. Menurut World
Development Report (WDR) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menyatakan bahwa
pertumbuhan domestik bruto (PDB) yang berasal dari pertanian empat kali lebih
efektif dalam mengurangi kemiskinan dibandingkan pertumbuhan PDB yang berasal
dari sektor lain.
Sementara
itu, berdasarkan data sensus pertanian pada tahun 2003, penduduk yang rentan
miskin sebanyak 27 juta jiwa yang didominasi oleh kaum tani kecil (gurem) yang
mengolah tanah garapannya di bawah 0,5 hektar. Luas kepemilikan lahan yang
sempit akan berdampak pada pendapatan para petani yang rendah. Di sisi lain
petani tidak memiliki sertifikat yang bisa digunakan sebagai agunan. Akhirnya,
tak jarang kondisi ini membuat mereka terjebak kepada tengkulak yang memberikan
pinjaman dengan bunga yang tinggi. Di provinsi Jawa Barat sendiri, berdasarkan
data dari Statistik Ekonomi Indonesia, Badan Pusat Statistik (2009) jumlah
penduduk miskin pada tahun 2009 yakni 2,53 juta orang (kota) dan 2,45 juta
orang (desa). Hal ini menunjukkan masih banyaknya penduduk desa miskin yang
sebagian besarnya berprofesi sebagai petani.
Wajah Petani
Lalu,
sudah sejauh manakah usaha pemerintah untuk mensejahterakan para petani? Semoga
program-program seperti revitalisasi pertanian yang didukung kebijakan
pengembangan teknologi pertanian, perluasan lahan serta perbaikan manajemen
akan menjadi tindakan yang solutif untuk para petani saat ini dan mereka
(petani) segera dapat merasakan hasilnya. Memang ironis sekali, Indonesia
sebagai negara agraris nan subur dengan posisi terletak di sepanjang garis
khatulistiwa dimana rakyatnya sebagian besar hidup turun temurun sebagai petani
namun kehidupan mereka jauh dari kata sejahtera. Padahal peran mereka untuk
bangsa ini tak bisa dimarjinalkan. Seperti yang diungkapkan oleh Presiden
pertama RI Soekarno dalam pidatonya saat meresmikan gedung Fakultas Pertanian
di IPB pada tahun 1953 bahwa masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia
adalah bagaimana memberi makan penduduk. Berkenaan dengan memberi makan
penduduk maka petanilah ditempatkan pada posisi yang bertanggung jawab untuk
memberi makan penduduk, di samping harus memenuhi kebutuhan untuk diri dan
keluarganya. Memang benar apa yang disampaikan oleh Soekarno bukan saucap-ucapna. Lihat saja kondisi saat
ini saat para petani mengalami gagal panen karena disebabkan beberapa faktor,
rakyat pun langsung “menjerit” karena beras sebagai makanan pokok menjadi
mahal, sayur mayur sulit didapat serta bahan pangan lainnya pun turut melonjak.
Ini seperti sebuah efek domino yang akan saling mempengaruhi.
Sepertinya
sangat sulit membuat wajah petani tersenyum hari ini terlebih faktor alam
seperti cuaca yang kurang mendukung selama proses bertani. Namun para petani
tidak boleh berputus asa apalagi menghentikan diri sebagai petani. Semangat
bertani harus mereka senantiasa tanamkan dalam sanubari masing-masing. Ini akan
lebih baik jika daya dukung eksternal khususnya dari pemerintah kepada para
petani juga menjadi prioritas. Sebagaimana yang disarankan oleh Bank Dunia agar
negara berkembang mencanangkan investasi pertanian guna mengentaskan
kemiskinan. Tapi sayang hal ini tidak dapat terealisasi dengan baik dengan
alasan minimnya infrastruktur pertanian yang kita miliki. Begitu juga dengan
harga pupuk dan pestisida. Kebijakan yang dibuat pemerintah seharusnya berpihak
kepada para petani. Namun lagi-lagi para petani dihadapkan dengan harga pupuk
dan pestisida yang tinggi. Jika hama mengancam gagal panen maka sikap responsif
dari dinas-dinas pertanian untuk penanggulangan hama sangat diperlukan. Jangan
biarkan para petani khususnya yang ada di daerah mengendalikan hama tanpa
bantuan.
Pada
momen Hari Tani Nasional ini diharapkan wajah para petani dapat sedikit
tersenyum di tengah himpitan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Tanpa
petani, rakyat Indonesia tak bisa makan. Dengan demikian jangan remehkan kaum
tani di bumi ini. Selamat Hari Tani Nasional!
No comments:
Post a Comment